Kamis, 13 Oktober 2011

Saya Lelah, Ternyata Kamu Lebih Lelah

Pernah merasa sangat tidak berguna?
Merasa bahwa segala ujian dan cobaan tak ada penawarnya, bahwa segala sedih dan gundah yang tak menentu itu sangat merepotkan hati?

Saya pernah.
Sering bahkan. Saat sepertinya tak ada telinga yang mau mendengar keluhan tak seberapa ini, yang sepertinya pula tak ada sejenis bahu yang bisa digunakan untuk menyandarkan sedikit beban-beban hati ini.
Lelah. Amat sangat lelah.
***

Ingin mengeluh.
Ingin mengeluarkan gumpalan penat yg menumpuk di pusat pemikiran ini.
Ingin menangis. Membuncahkan semua rasa gamang yg tak tertahankan

Ya.
Baru saja saya ingin mewujudkan mimpi kecil itu, mimpi yang sepertinya bisa membuat saya bahagia untuk sesaat. Yang ingin diwujudkan sesegera mungkin begitu melihat mangsa empuk untuk berkeluh kesah. Tapi nyatanya Allah berkehendak lain, Ia mungkin lebih senang membiarkan gumpalan penat itu tetap tertanam dalam akal dan hati kita, membiarkannya mencair secara perlahan dengan tangis dan doa-doa kecil yang terujar dari lafas kita.
Baru saja saya ingin menumpahkan semua keresahan dengan sahabat--mendadak air matanya sudah mengalir duluan, ia menangis. Mengemukakan bahwa dunia sedang tak berpihak padanya, dan ujiannya benar-benar berat, mungkin jika itu semua diposisikan kepada saya, saya akan lebih diplomatis untuk menjerit.
Tertahan.
Ya, keluhan pertama saya tertahan karena air mata yang sudah jatuh duluan dihadapan saya, karena cerita yang lebih pilu dibanding kisah sedih saya. Keluhan ini tertahan.
***
Belum ada separuhnya bibir ini menganga, bersiap-siap mengkoarkan bahwa hidup ini begitu menyayat hati. Gurat sedih dan nada parau yg berasal dari seorang kawan sudah memukul otak saya yang sudah dipenuhi dengan urusan sendiri. Dan TELAK.
sekali lagi keluhan ini tertahan. kisah sedih yang lagi-lagi membuat saya mematung, bingung. apa yang harus saya berikan untuk menghiburnya.
Fine. keluhan ini tertahan lagi
***
Bulan purnama masih mengintip perlahan. Masih ada waktu untuk saya men-JARKOM-kan keseluruh semesta bahwa saya adalah korban penderitaan zaman *haha*
Stop. karena lagi-lagi keluhan ini tertahan. Yang kali ini bukan karena sedih durjana dari pihak lain. Justru datangnya dari kebahagiaan, bahagia teramat sangat dari seorang teman. Bahagia yang saya sendiri terlalu takut untuk mendeskripsikan tingkah pola perwujudan bahagia mereka. Entah itu bisa disebut rasa syukur kepada Allah SWT. atau tidak. Yang pasti maghrib berlalu dan mereka masih terpaku dengan sorak gembira itu, suara saya terlalu kecil untuk berjerit bahwa "Kalian harus berhenti!"
Sama sekali nihil.
***

Air mata sepertinya sudah jatuh.
bukan. bukan karena saya sedih tak jadi menceritakan kisah sedih.
saya sedih karena menyadari, betapa baiknya Ia memberikan saya kesempatan untuk tidak mengumbar kesedihan. Betapa baiknya Ia karena menampar saya dengan pengalaman. Betapa baiknya Ia dengan saya yang sungguh jahat ini.
*Innama'al usri yusro* Lalu apalagi yang sedang kita pertahankan atau perjuangkan ini selain untuk Ia.
Kisah sedih macam apa yang sebenarnya sedang saya dramatisir ini. Oh Sadar Ina! 
Terlalu banyak hati yang harus bantu diperbaiki, terlalu banyak tangan yang perlu diraih dan diajak berlari menuju Syurga, terlalu banyak pemikiran yang mestinya dibawa kedalam kelas-kelas Qur'ani.
***


Hhhh..
Ia, Allah..
Engkau benar-benar sedang menata satu persatu cerita kita menuju kebaikan. Kebaikan versiMu Rabb..bukan versiku.
Engkau benar-benar sedang merapihkan letak hati yang satu persatu membelok. Rapih versiMu Rabb..bukan versiku.
Jaga kami Rabb, karena sesunggunya kami hanyalah jentik-jentik hina yang tak tau dimana air bersih itu bermuara, jika tak Kau tunjukkan dimana alirannya.

Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wanni'mannasir.
Amin.

-MF-















Tidak ada komentar: